Sistem Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan Koperasi Indonesia
Ekonomi kerakyatan sebagai suatu sistem ekonomi yang memberikan pemihakan kepada pelaku ekonomi lemah kiranya pantas mendapatkan prioritas utama penanganan. Hal ini bukan saja karena ekonomi kerakyatan memiliki pijakan konstitusional yang kuat, namun juga karena ia gayut langsung dengan nadi kehidupan rakyat kecil yang secara obyektif perlu lebih diberdayakan agar mampu menjadi salah satu ‘engine’ bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (social welfare) dan sekaligus alat ampuh untuk lebih memeratakan ‘kue pembangunan’ sejalan dengan program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation).
Dalam
konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi
dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga
masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan
anggota masyarakat sendiri. Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya
dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan
kekeluargaan.
Secara
operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan
produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan
berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari
anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil.
Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok
masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani,
nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan
kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi. Inilah sesungguhnya yang
menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
Secara
obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu
meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di
Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang
kinerjanya belum seperti yang kita harapkan. Koperasi pada kategori
kedua inilah yang memberi beban psikis, handycap dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi.
Anggota
masyarakat yang akan mendirikan Koperasi harus mengerti maksud dan
tujuan berkoperasi serta kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh
Koperasi untuk meningkatkan pendapatan dan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi anggota. Pada dasarnya Koperasi dibentuk dan didirikan berdasarkan
kesamaan kepentingan ekonomi. Agar orang-orang yang akan mendirikan
Koperasi memperoleh pengertian, maksud, tujuan, struktur organisasi,
manajemen, prinsip-prinsip koperasi
dan prospek pengembangan koperasi kedepannya, maka mereka dapat meminta
penyuluhan dan pendidikan serta latihan dari Kantor Dinas Koperasi atau
badan Pemerintah yang mengurusi perkoperasian setempat.
Dengan
membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat
setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset
ekonomi yang ada di daerahnya, menggeser paradigma “memberi” ke “
pemberdayaan”, serta mengurangi tumbuhnya sifat konsumtif masyarakat
yang secara perlahan membentuk sifat produktif, inovatif, kreatif pada
masyarakat dan menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat itu.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai melalui pertumbuhan
ekonomi kerakyatan yang unggul dengan memperhatikan pertanian,
pariwisata, industri kecil dan kekuatan koperasi. Pembangunan ekonomi
tidak bisa hanya memperhatikan komponen pertumbuhan ekonomi semata,
tetapi juga harus memperhatikan pemerataan pendapatan. Untuk itu,
pembangunan ekonomi diarahkan pada peningkatan produktivitas dan
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah.
ekonomi
rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan
produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan
berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari
anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat
adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai,
tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan
kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas,
yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok
anggota.
Ekonomi
Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan,
tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan
ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui
koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang
tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan
ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha
menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi
mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya
menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh
hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar,
maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak
ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang
memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan
yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Jika
banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi
rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar
pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak
membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut
berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A National Economy
(Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam
rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka
1945. Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar
ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi
dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan
dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah
permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak
diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi negara-negara lain
yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar referensi
tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam
pada itu buku-buku tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang
ditulis oleh pakar-pakar ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival
tidak dibaca dengan alasan yang kurang jelas. Perdebatan seru tentang
tesis dualisme ekonomi yang terbit sebagai buku Indonesian Economics
(Van Hoeve, 1966), belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi
Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu
Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah menjadi
Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan
fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama
sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu
kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya
sebagai Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian
Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi
Indonesia. Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan
memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada
sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala
Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak
1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku teks Ekonomi
Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Buku
Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi
penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market and Entrepreneurs.
Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu
tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai
“negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 –
1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli
(monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti
rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya
tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama
dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC
mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC
mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah
sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni
yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani
menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC.
Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah
Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi
Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena
penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di
duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan
Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk
mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil
alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda )
diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada
tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang
Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch
mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau
menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam
paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu
pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada
perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Selain
itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk
desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat
di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam
bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah
Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas
pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda
mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini
setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus
pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus
berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada
jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem
ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi
pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai
penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan.
Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria
tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta
menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun,
untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit,
atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa
jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai
dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya,
sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan
perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem
perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari
pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan
swasta memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian
keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf
dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu
pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah
mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam
pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet
persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya
kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan
antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun
1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme)
dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik
oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya
tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu
Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang
selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai
investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan
dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder).
Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit,
dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena
merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama
perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang
menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi
ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik
bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar,
bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena
hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin
mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan
penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik
pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka
para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu
memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan
upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat
tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana
ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi
koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan.
Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi
yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan
pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri.
Inilah yang kemudian dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi
Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana
tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi
rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak)
memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan
harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan
30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya
harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The
1920s were the “golden age” (hujan emas or “golden rain”) for
smallholder rubber, long remembered among rural residents in Palembang,
Jambi, and West and South Kalimantan. Consumption of both local and
imported goods quickly increased. The number of motor cars in Palembang
rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than 19000 bicycles and
17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi in 1920s
….. Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber
regions in the Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).
Pada
zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin
berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar
luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai
mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat
mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula
mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun
1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa
membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi
(TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta )
menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus
ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul
khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan
yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang
selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah.
Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan
tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan
(alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk
gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka
di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk
menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula
merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat
terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa.
Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang
paling sakit di Indonesia.
Demikian
sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun
tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar
ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern
terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi
tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat diukur.
Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor
produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak
berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar